skip to main | skip to sidebar

Nugraha Febriansyah

Rabu, 07 April 2010

Jeruk dengan Gen Antibakteri

Budidaya tanaman jeruk kerap terkendala oleh serangan penyakit citrus greening, untuk mendapatkan jeruk yang sehat, digunakan metode transgenik yang bisa mentransfer gen penghalang bakteri penyebab penyakit.Beberapa dekade lalu, nama jeruk garut sempat populer di Tanah Air. Sesuai dengan seb-utannya, buah jeruk itu banyak terdapat di Garut, Jawa Barat. Perkebunan-perkebunan jeruk banyak terhampar di daerah bersuhu sejuk itu. Karenanya, tidak heran jika Garut menjadi sentra penghasil jeruk garut

Dilihat dari tampilannya, jeruk garut berbentuk bulat dengan kulit tebal berwarna hijau. Jika sudah matang, buah itu rasanya manis dan menyegarkan. Sayang, buah itu kini sudah sulit didapatkan di pasaran. Bahkan, bisa dikatakan hampir punah dan menjadi buah langka.

Selain jeruk garut, ada pula jeruk tejakula yang mengalami nasib serupa. Kelangkaan itu acap kali disebabkan oleh adanya kendala dalam pembudidayaan tanaman jeruk. Salah satu faktor yang menghambat proses pembudidayaan itu ialah serangan penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) pada tanaman. Serangan penyakit yang dikenal dengan citrus greening cukup ganas sehingga bisa mematikan tanaman jeruk.

CVPD juga menyerang sejumlah tanaman jeruk yang dibudidayakan di Bangli (Bali), Kalimantan Barat, Sumatra Utara, dan Soe (Nusa Tenggara Timur). Penyakit itu disebabkan oleh bakteri Liberobacter asiaticum dan disebarkan oleh serangga Diapho-rina citri, sejenis kutu loncat

Serangga itu bisa menyerang semua bagian tanaman jeruk. Umumnya, bakteri menjangkiti daun kemudian menyebar ke tubuh tanaman melalui pembuluh kulit (phoem) dan pada akhirnya ke seluruh bagian tanaman.Akibatnya, bakteri tersebut menghambat penyerapan berbagai unsur hara dari tanah. Tanaman jeruk pun kekurangan unsur hara sehingga lama kelamaan menjadi man.

Tanaman yang terserang penyakit citrus greening biasanya memiliki tanda-tanda daun menguning dan tulang daun menebal. Sedangkan buahnya menjadi kecil, keras, kadar air berkurang, dan warnanya menguning mulai dari bagian tangkainya. Untuk menanggulangi penyakit itu, para petani biasanya memberi obat berbasis kimiawi (pestisida).

Namun, cara itu cenderung tidak efektif sebab pada musim tanam berikutnya pe-nyakit tersebut muncul kembali. Ujung-ujungnya, petani pun mengalami kerugian lantaran bakteri itu membuat tanaman jeruk mati.Kondisi itu memicu I Putu Gede Wirawan, peneliti dari Universitas Udayana, Denpasar, Bali, untuk meneliti tanaman jeruk transgenik anti-CVPD dengan metode transformasi in pianto (cangkok) dan in vitro (kultur sel jaringan).

Wirawan mengatakan penelitiannya itu dipicu pula dari penemuan penyebab penyakit CVPD pada 1996. "Penyebab penyakit CVPD adalah bakteri yang dibuktikan dengan keberadaan sekuen 16 SrDNA. Sekuen itu hanya dimiliki oleh prokaryot atau bakteri," ulasnya. Penyakit itu, lanjut Wirawan, sulit ditanggulangi karena bakteri penyebabnya belum dapat dibi-akkan dengan menggunakan media buatan, sehingga karakter bakterinya sulit teridentifikasi.

Untuk itu, dia mencari gen baru dari tanaman jeruk yang bisa disisipkan agar tanaman tahan CVPD. Adanya gen itu diharapkan bisa menahan bakteri Liberobacter asiaticum yang menyerang sel tanaman jeruk. Bakteri tersebut umumnya ditemukan di tanaman jeruk yang tumbuh di kawasan Asia.

Di Tanah Air, Wirawan menemukan beberapa strain bakteri itu berkembang biak di sejumlah daerah, antara lain Bali, Lumajang (Jawa Timur), dan Brastagi (Sumatra Utara). Meski dikenal ganas, bakteri itu tidak mampu menyerang tanaman jeruk kinkjt (jeruk nonkomersial) yang umumnya banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Berdasarkan pengamatannya, Wirawan menyakini kalau tanaman tersebut memiliki gen yang tahan penyakit Karena itu, dia pdn melakukan mutasi gen de-ngancaramengisolasi dan menggandakan-nya (kloning).

"Kemudian saya transfer gen itu ke tanaman jeruk budi daya (komersial) sehingga tahan penyakit CVPD," kata pria yang meraih gelar doktor dari Fakultas Pertanian Nagoya University, Jepang, itu. Adapun gen yang berasal dari jeruk hias itu diberi nama gen CVPDr.

Rekayasa Genetika

Di bidang biologi tanaman jeruk yang telah disisipi gen dikenal dengan sebutan tanaman transgenik. Tanaman itu merupakan hasil rekayasa genetik karena membawa gen baru yang diisolasi dari organisme hidup lainnya.Gen merupakan kumpulan asam deoksiribo nukleat (DNA) yang mengatur dan mengenda-likran sifat makhluk hidup.

Untuk mendapatkan gen CVPDr, Wirawan mengambil sampel sel dari potongan daun jeruk kinkit yang berbentuk lingkaran kecil. Sampel tersebut diinoku-lasi dengan Agrobacterium tume-faciens (vektor bakteri). Selanjutnya, dia menginkubasi sampel selama lima sampai tujuh hari.

Pada tahapan berikutnya, potongan daun dipindahkan ke wadah lain untuk merangsang perkembangan tunas. Pada fase itu sel-sel pada tepi daun tumbuh dan berkembang. Setelah itu, sampel daun dikembangbiakkan selama tiga sampai empat pekan dengan kananisin dan karbenisi-lin (antibiotika).

Senyawa antibiotika itu berguna untuk memantau apakah gen yang baru itu sudah tertransfor-masi ke tanaman jeruk atau belum. Dengan demikian, tanaman jeruk yang tumbuh pada media berantibiotika bisa diartikan tanaman itu telah tertansformasi dan membawa gen baru.

Seusai proses itu, akan didapatkan gen CVPDr yang kemudian diintegrasikan ke kromo-soni tanaman jeruk dengan bantuan bakteri /Igrobacte-rium tumefaciens. Bakteri itu tergolong bakteri yang tidak berbahaya karena organisme berukuran super-kecil itu tidak masuk-ke dalam sel tanaman jeruk dan hanya fragmen DNA atau satu gen yang baru saja yang masuk. Wirawan menggunakan marker DNA untuk memantau kelangsungan proses transformasi gen.

Ini adalah gen yang digunakan untuk menandai berlangsungnya proses transfer gen dan tahan pada pada antibiotika tertentu.Dia juga menggunakan metode Tagging T-DNA yang berguna merangkai DNA yang dikehendaki. Gen yang tidak diinginkan.mi-salnya yang menggangu kesehatan manusia, bisa dihilangkan dengan cara tersebut. Lantaran tanaman jeruk yang dihasilkan membawa gen CVPDr, maka tanaman itu menjadi tahan terhadap serangan penyakit CVPD.

Gen CVPDr berfungsi untuk menghilangkan hambatan dalam penyerapan unsur hara ke dalam sel-sel tanaman oleh bakteri CVPD. Gen CVPDr itu sudah menyatu dalam kromosom tanaman jeruk, sehingga mekanisme sel-sel tanamanlah yang mengatur ketahanan tersebut dari dalam.

"Gen CVPDr bukanlah obat yang diberikan dari luar sel, tetapi telah berintegrasi tetap di dalam sel-sel tanaman jeruk," jelas Wirawan.Dari hasil uji laboratorium, diketahui bahwa produktivitas tanaman jeruk transgenik sama dengan tanaman jeruk "konvensional" Dalam uji coba, Wirawan membandingkan antara tanaman jeruk tejakula, soe, dan siem. Penelitian yang terpilih sebagai salah satu dari 101 inovasi penelitian Tanah Air 2009 versi Kementerian Riset dan Teknologi itu sudah memasuki skala industri dalam bentuk pembuatan obat anti-CVPD yang berupa cairan.

Saat ini pasarnya baru mencakup wilayah Bali dan Jawa Timur. Sementara itu, untuk pengembangan dalam skala industri, jeruk transgenik hasil pengembangan Wirawan tersebut dikerjasamakan dengan pelaku industri di Jepang. vlc/L-2

Diposting oleh Nugraha Febriansyah di 07.48 0 komentar

H5N1

Virus H5N1 merupakan jenis virus flu burung yang sangat ganas, yang menjadi penyebab utama penyakit pada unggas. Virus ini pernah ditemukan juga pada babi dan kucing, Tetapi virus ini tidak menimbulkan gejala sakit pada hewan tersebut. Sampai dengan saat ini, belum ditemukan bukti ilmiah bahwa kedua jenis hewan tersebut bertindak sebagai sumber penularan virus H5N1.

Namun dalam minggu terakhir ini virus H5N1 di nyatakan positif menyarang unggas piaraan warga Desa Persiapan Makmur Mulia Dan Sungai Danau(Sudan)Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu(Tanbu).terhitung dari tanggal 29 Desember 2009 hingga tanggal 4 Januari 2010 sudah 250 ekor unggas yang mati di duga terserang penyakit Avian Influenza ini.

Pada kasus yang langka, penyakit ini juga dapat menyebar pada manusia. Kasus infeksi virus H5N1 pada manusia yang pertama kali tercatat, terjadi di Hong Kong pada tahun 1997, ketika virus H5N1 yang menyebabkan penyakit pernafasan sangat berat tersebut menyerang 18 orang, 6 di antaranya meninggal. Virus ini kemudian dapat dikendalikan dan kasus infeksi pada manusia lenyap tanpa dapat terdeteksi selama beberapa tahun.

Sampai timbul kembali di Asia pada tahun 2003. Sejak saat itu, virus tersebut kembali terdeteksi di banyak negara serta menyebabkan penyakit bahkan tingginya tingkat kematian pada jutaan unggas. Lebih dari 140 orang meninggal karena penyakit ini. Kasus pertama pada unggas di Indonesia diidentifikasikan di dua kabupaten yaitu Pekalongan dan Tangerang pada bulan Agustus 2003, sementara kasus pertama pada manusia terjadi di Kabupaten Tangerang pada bulan Juli 2005.

Saat ini virus H5N1 tidak mudah menyebar dari unggas ke manusia, atau dari manusia ke manusia. Akan tetapi, kejadian yang terus berulang oleh virus H5N1 pada unggas dan manusia meningkatkan kemungkinan terjadinya virus baru yang dapat menular dari manusia ke manusia, yang berpotensi memicu pandemi di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia, World Health Organizaton (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan badan internasional lainnya serta mitra lokal bekerja sama untuk mengendalikan virus H5N1 dan mencegah pandemi pada manusia.

Endang Asyudi,S,Pt Kabid Keswan ,Kesmavet&Usaha Agribisnis Dinas Tanaman Pangan dan peternakan Tanbu,mengatakan,setelah menerima pengaduan masyarakat tentang matinya hewan piaraan secara masyal ,pihaknya langsung turun kelokasi yaitu di dua desa Sungai Danau di jalan Citra Wati ,jalan Perintis desa Persiapan Makmur Mulia,” dari dua bangkai unggas piaraan milik Semon warga Citra Wati yang mati satu di nyatakan positif terserang virus H5N1 satunya lagi negative”,ungkap nya.

Menurut Endang Virus tersebut diduga bawaan unggas yang di pasok dari Banjar Baru, oleh pedagang ayam potong yang berjarak sekitar seratus meter dari rumah semon pemilik unggas di tempat tersebut juga ada sebagian yang terkena penyakit ND,tetlo penyakit ini menurut Endang menyerupai flu burung,dan ini merupakan kasus pertama di Tanbu,tegasnayaGEJALA KLINIS - Manusia
Gejala-gejala awal flu burung seringkali sama dengan influenza musiman manusia (batuk, sakit tenggorokan, demam tinggi, sakit kepala, sakit otot, etc). Penyakit ini dapat berkembang menjadi pneumonia dimana mungkin akan terjadi, kekurangan angin, susah bernafas dan gagal pernafasan. Apabila anda merasa telah terpapar dengan flu burung dan anda mulai menunjukkan gejala-gejala menyerupai influenza, segeralah cari perhatian medis. Sumber: WHO

Gejala Klinis – Burung
Gejala klinis (Tanda-tanda kesehatan) penyakit ini sangat beragam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat keganasan (virulensi) virus yang menginfeksi, spesies yang tertular, umur, jenis kelamin, penyakit lain yang menyertainya dan lingkungan.

Pada tipe (jenis ) AI yang virulen (sangat patogen) yang biasanya dikaitkan dengan “fowl plaque’ (sampar unggas), penyakitnya muncul secara tiba-tiba pada sekelompok unggas dan mengakibatkan banyak unggas mati baik tanpa disertai oleh adanya tanda-tanda awal atau hanya ditandai oleh gejala klinis yang minimal seperti depresi, kurang selera makan (hilangnya nafsu makan), bulu kusam dan berdiri serta demam. Unggas lainnya terlihat lemas dan berjalan sempoyongan. Ayam betina mula-mula akan menghasilkan telur dengan cangkang (kulit telur) lunak, namun kemudian akan segera berhenti bertelur. Unggas yang sakit seringkali terlihat duduk atau berdiri dalam keadaan hampir tidak sadarkan diri dengan kepala menyentuh tanah. Jengger dan pialnya terlihat berwarna biru gelap (cyanotic) dan bengkak (oedematous) serta mungkin menunjukkan adanya bintik-bintik pendarahan di ujungnya. Diare cair yang parah seringkali terjadi dan unggas terlihat sangat haus. Pernapasan terlihat berat (sesak napas). Bintik-bintik perdarahan sering ditemukan pada kulit yang tidak ditumbuhi bulu. Tingkat kematiannya berkisar antara 50 sampai 100%.

Pada ayam potong, gejala penyakitnya seringkali tidak begitu jelas, yang mula-mula ditandai oleh depresi parah, berkurangnya nafsu makan, dan peningkatan jumlah kematian yang nyata. Kebengkakan (oedema) pada wajah dan leher serta berbagai gejala gangguan saraf seperti leher berputar (torticollis) dan gerakan yang tidak terkoordinasi (ataxia) juga mungkin terlihat. Gejala yang tampak pada kalkun mirip dengan gejala yang terlihat pada ayam petelur, namun penyakitnya berlangsung 2 atau 3 hari lebih lama dan kadang-kadang disertai oleh pembengkakan pada sinus hidung. Pada itik peliharaan dan angsa gejala depresi, kurang nafsu makan dan diarenya mirip dengan gejala pada ayam petelur meskipun seringkali disertai dengan pembengkakan pada sinus hidung. Unggas-unggas muda bisa menunjukkan gejala-gejala gangguan saraf. Maulana
Diposting oleh Nugraha Febriansyah di 07.44 0 komentar
Langganan: Postingan (Atom)

Blog Archive

  • ▼  2010 (2)
    • ▼  April (2)
      • Jeruk dengan Gen Antibakteri
      • H5N1

About Me

Nugraha Febriansyah
Lihat profil lengkapku
  • ade saepulloh
  • sri heraqwati
  • Napsiah Nasution
  • Huda
  • Imal Muzammil
 
Copyright © Nugraha Febriansyah. All rights reserved.
Blogger templates created by Templates Block
Wordpress theme by Uno Design Studio